Sepasang kekasih baru
memasuki pintu. Seorang gadis melambaikan tangan padaku dan menuju ke arah ku
yang berada di ujung kedai kopi ini. Aku tersenyum. Jadi lelaki ini yang selalu
diceritakan Key. Sesuai janjinya, Key akan mengenalkan kekasih barunya padaku
akhir pekan ini. Baiklah, harus ku akui lelaki yang digandengnya kali ini benar
– benar tampan. Tak heran juga, sepupuku yang satu ini memamng memiliki wajah
cantik. Namun ada yang janggal pada lelaki itu. Key duduk dan menyapaku,
kemudian ia memperkenalkan lelaki itu. Evan. Namanya yang singkat mampu mem-pause hidupkku selama 5 detik. Mereka
duduk di depanku. Memesan kopi dan asik berbincang sendiri setelah menyadari
aku sedang menggarap mati – matian tugas akhir semesterku.
Ku tatap lagi pemilik tubuh
yang indah itu, tangannya melingkar manis di pinggang sepupuku. Otakku beradu
dengan hatiku mencerna apa yang terjadi, logikaku tak mampu menerima kenyataan.
Aku tak tahu bagaimana sepasang mata hitam yang dulu milikku sejak tadi asik
menatap wajah rupawan sepupuku. Dan kenapa pula ia disini? Aku pura – pura tak
memperhatikan keduanya yang sedang dibakut kasih.
Masih jelas bayangan antara
aku dan lelaki itu, dua tahun yang kacau memaksaku menyingkirkannya dari
hidupku. Mungkin saati itu Evan telah lelah dengan sikapku yang kacau dan kerap
mengabaikannya. Sebuah efek samping yang diakibatkan oleh sepasang suami –
istri yang tidak bertanggungjawab, berhasil mengacaukan kehidupanku dan bahkan
membunuh calon adikku yang masih dalam kandungan ibu. Aku sendiri terselamatkan
karena kepedulian saudara – saudaraku. Hingga kini mereka mengirimku belajar ke
negara bermenara yang merupakan kiblat mode dunia. Keluarga Om Hervan sangat
baik, aku dikirim bersama anak bungsunya. Mereka berharap aku dapat menjadi
anak yang baik dan tentunya tidak akan mengulangi kesalahan orang tuaku.
Di depanku, sepupuku dan
mungkin mantan kekasihku masih menikmati keadaan, oh baiklah.. kami sebenarnya
tidak pernah benar – benar mengatakan berpisah. Hanya waktu dan keadaan yang
membuatku seperti menghilang dan tiba – tiba aku ada di tempat ini tanpa membiarkannya untuk
melupakanku. Aku kembali memastikan penglihatanku. Hatiku berharap ia bukan
Evan yang pernah aku tinggalkan. Tapi kenyataan mengalahkan segala usaha
mengelabuhi pikiranku. Sebenci itukah dia hingga tak mengenaliku lagi? Atau dia
berpura –pura lupa lupa dan sengaja mencari sepupuku untuk membalas sakit
hatinya? Atau ini permainan –Mu Tuhan?
Aku benci ini !
Aku tetap berpura – pura
mengerjakan tugasku dan sesekali mencuri pandangan ke arah mereka dari balik gadget canggihku yang biasa disebut laptop oleh orang negaraku. Andai dia
tahu, tak seperti yang ku inginkan untuk meninggalkanmu. Saat itu aku hanya
masih sebagai seorang remaja yang labil. Keegoisan orang tua ku membuat kejiwaanku
terguncang. Dan wajarnya seorang lelaki
normal tidak akan pernah mencintai wanita yang tidak begitu waras
sepertiku. Belum lagi berbagai luka memar yang merupakan make up alami wajahku. Pelipisku kerap mengucurkan darah segar
ketika emosi ayahku memuncak. Betapa rendahnya aku saat itu. Aku ingin pergi
dari hadapan mereka berdua dan menumpahkan air mataku. Aku mengurungkan niat ku
untuk pamit pulang ketika Key yang meminta izin dulu ke toilet. Aku mulai
membereskan barangku. Kemudian..
“kamu
sepupu Key dari Indo juga kan? Aku juga dari Indo. Lagi banyak tugas ya?” Evan
tersenyum dan menatapku.
Aku melepas kacamata dan
memasukkannya kemudian memjawab. Pura – pura bodoh tak mengenalnya.
“ya..ibu
ku adalah kakak papa Key.” Aku tersenyum, kuberanikan diri menatapnya
“ini
tugas penelitian sosial aja kok J”
tambahku. Sepertinya sejak kedatangannya
belum menatapku sungguh – sungguh. Kini tatapan matanya berubah aneh
terhadapku.
“sudah
berapa lama tinggal di- “ ucapanku terputus
“Raisa?”
sepertinya Evan mulai mengenaliku. Wajahanya benar – benar terlihat speechless saat menyadari itu aku. Aku meraih tasku dan
berlari ke luar. Aku enggan menampakkan air mataku di hadapnya. Di mencoba
mengejarku. Hanya beberapa meter dari tempat tadi Evan mampu mengimbangi
langkahku. Dia menarik lenganku dan membenamkanku dalam peluknya. Lama. Aku tak
mampu membalas pelukannya. Pikiranku bercampur. Mungkin bahagia dan khawatir
tentunya. Apa yang akan terjadi pada Key bila ia melihat sepupunya ini berani
memeluk kekasihnya? Aku benar – benar takut. Evan tak juga melepas pelukannya.
Kurasakan rindu darinya yang amat mendalam masuk dan merambati auraku.
“aku
mencarimu selama ini. Aku menyusulmu, tapi tak juga menemukanmu. Tapi aku
bertemu Key..” kalimatnya yang terkahir diucapkan dengan penuh penyesalan. Aku
tetap membisu, mataku basah. Aku mencoba melepaskan diri dari pelukkannya. Tapi
tubuhnya menolak untu melepaskanku. Tapi akhirnya pelukannya melemah setelah
melihat mataku basah.
“aku
tetap mencintaimu…”Evan menatapku lembut, matanya teduh, wajahnya mendekat
hingga bibirnya bertemu dengan milikku. Aku membalasnya, bibirnya yang lembut
menari sempurna di atas bibirku. Kami saling beradu. Aku juga mencintaimu,
batinku. Aku sangat merindunya. Saati itu terdengar musik khas yang lembut dari
gesekan biola milik pengamen jalanan. Aku merasakan atmosfer yang berbeda saat
ini. Dia menyudahi beradunya bibir kami.
“bagaimana
tentang Key?” aku bertanya lirih dan tak berani menatap matanya. Dia mengusap
air mata yang masih tersisa di pipiku.
“kau
tentu menyayanginya. Tak semstinya aku berbuat kurang ajar seperti ini dan
melukai hati saudaraku sendiri. Sudahlah.. lupakan segala tentangku..” aku
menjauh dari jangkauannya. Namun tatapan matanya memohon mencoba untuk mencegah
kepergianku. Genggaman tangannya dipererat untuk menahanku.
“RAISA
!” sebuah suara lanatng meneriakkan namaku dengan kasar. Tanpa menoleh ke
sumber suara tentunya aku sudah tau pemilik suara itu. Sepertinya sepupuku
telah berdiri lama manyaksikan kelakuanku. Aku menatap Key penuh rasa bersalah.
Aku kembali menatap Evan. Aku berlari meninggalkan mereka berdua yang tetap
terdiam. Baik Key maupun Evan hanya diam mematung dan membirakan aku pergi
begitu saja. Perasaanku bercampur dan tak dapat terdevinisikan. Aku berlalri sekuat
yang ku mampu. Aku takut. Aku menangis sepanjang jalan. Hingga aku lelah.
Lelah. Lelah.. benar benar lelah. Dan
lelah.
Sejak saat itu aku tak lagi
berani menemui Key lagi. Aku benar – benar menghilang dari kehidupannya. Key,
terlalu baik padaku. Aku berjanji suatu saat akan membalas kebaikan keluarga Om
Hervan. Maafkan aku Key.. aku meninggalkan segalanya. Sangat berat tersesat di
negri orang. Saat itu benar – benar kelam. Aku benci menjadi bodoh dan selalu
sial seperti ini.
Aku bersandar di bahu suamiku.
Kami duduk sebuah bangku pada taman kecil di sudut kota Paris. Ia mengusap
lembut perutku.
“aku tak sabar menanti ia lahir. Aku tentu akan
mengajarinya bermain bola. “ aku tersenyum mendengar ucapannya. Evan masih
seperti yang dulu bahunya tetap nyaman untukku disana. Tetap tulus menyayangiku meski kita
berada dalam masa – masa yang sulit seperti ini. Aku mencium pipinya, menikmati
indahnya sore di langit Paris hingga awan –awan jingga benar – benar berganti
kelam. Hitam. Dan aku tetap disini Black Paris.