most popular

Selasa, 15 November 2011

Pesan dari Tanah Putih



Aku tak mengerti tentang arti masa abu-abu putihku selanjutnya. Fikirku kacau, kelam. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dan kenapa aku berada disini. Samar-samar masih kudengar tawa teman-teman, suara lantang mereka memanggilku kembali bergabung untuk menggoreskan kenangan manis sewajarnya seorang siswi SMA. Aku menatap ke langit-langit ruangan ini. Berbagai alat penunjang hidup ini sepertinya yang menyadarkan dimana keberadaanku sekarang. Mungkin rumah sakit. Namun tak kudapati seorangpun ada dalam ruangan ini. Tak selayaknya di rumah sakit, dimana keluargaku yang seharusnya menungguku di samping ranjang hingga aku sadar? Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi. Dimana Billy si usil? Dimana papa? Dimana mama? Aku merasa sangat rindu kepada keluarga kecilku itu. Kemana sahabat-sahabatku? Dan tentunya dimana Radin? Aku menyayanginya. Sulit untuk menata kekacauan kepingan puzzle yang sudah ku bentuk. Kekacauan itu memudar, perlahan aku ingat apa yang telah terjadi. Aku mengubah posisiku. Kini aku duduk, melepas segala peralatan penunjang hidupku yang mungkin sudah berminggu-minggu menempel ditubuhku. Sakit tentunya, sangat sakit. Namun tidak ada bandingnya dengan sakitku secara psikologis. Darah menetes dari tanganku, dimana selang infus yang tadinya tertancap di nadiku untuk mentransfer cairan ke tubuhku baru saja kulepas secara paksa. Aku mengusap perutku dengan lembut. Peluhku luruh tanpa penghalang. Mataku memandang penuh penyesalan. Tatapanku kosong, teringat masa abu-abu putihku, berbagai peristiwa terlintas, tawa canda, cinta..atau lebih tepatnya cuma nafsu belaka yang membuatku terpaksa terjun ke dunia kelam, hingga aku harus drop out dari sekolah dan menanggalkan masa remajaku. Masih teringat suatu peristiwa yang menyeretku ke ruangan serba putih ini. Radin, kekasihku yang tidak bertanggungjawab itu pergi meninggalkanku, andai dia mengerti seberapa besar rasa cinta yang aku jaga untuknya. Aku fikir semua akan baik-baik saja. Kami mengerti, ini salah kami. Aku masih ingat ketika aku berkata kepadanya bahwa ada seorang calon bayi mungil dalam kandunganku, dia mengatakan bahwa dia akan tetap menyayangiku. Walau awalnya aku nekat untuk memusnahkan calon bayi kami, namun Radin-lah yang meyakinkanku. Bahkan ia berjanji akan bertanggung jawab atas accident kami ini. Radin memelukku ringan dan mencium keningku. Di penghujung senja itu aku memutuskan bahwa aku juga akan tetap mencintainya dan tentunya Radin kecil yang ada dalam kandunganku.
Mungkin beberapa minggu setelah itu aku sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Radin. Usia Radin kecil masih 72 hari, ini masih memungkinkanku untuk membawanya ke sekolah. Sekali dalam waktu itu aku bertemu dengannya,ia bersikap aneh padaku, masih terukir jelas difikiranku, matanya merah, menarik lenganku kasar menuju belakang aula. Tempat tersebut cukup sepi, matanya memandangku tanpa bisa kubaca artinya. Aku menarik satu tangannya yang lain dan meletakkannya di perutku. Saat itu cengkraman tangannya yang cukup kuat melemah. Radin memelukku erat tak seperti biasannya dan mencium Radin kecil kita. lalu ia berkata bahwa Tuhan akan menjemputnya atau dia yang akan menghampiri Tuhan. Aku menarik tubuhnya mendekat, Radin akan meneruskan kata-katanya namun aku menahan bibirnya dengan telunjukku. Dia kembali membenamkanku dalam peluknya dan berbisik tepat di telingaku bahwa jam pelajaran selanjutnya ia akan meninggalkan kelas, entah pergi kemana. Dia tak menjawab berbagai pertanyaanku. Setelah saat itu aku tak lagi bertemu dengan Radin, hingga 3 hari kemudian sekolah digemparkan tentang aksi bunuh diri Radin yang loncat dari gedung berlantai 17. Tepat di malam aku mencoba menelponnya, namun tak sekalipun telpon dariku yang diangkat. Aku khawatir.. sore itu Rania melihat Radin bersama dengan segerombolan kakak kelas kami yang bertaraf anarki di sekolah memarkirkan mobil mereka tepat di depan tempat yang tidak seharusnya di kunjungi pelajar SMA. Dan setelah itu ia benar-benar hilang. Hatiku kalut, tak pernah kubayangkan Radin meninggalkanku. Aku tidak dapat berfikir secara jernih, bagaimana aku menjelaskan kepada mama, papa, bahkan orang-orang terdekatku tentang kehadiran Radin kecil dalam kandunganku? Mungkinkah pikiran Radin sama kalutnya atau bahkan lebih kalut dari pada aku, sehingga ia terpaksa mengakhiri hidupnya karena tak sanggup menghadapi kenyataan ini? Pengecut !! Aku segera pulang kerumah setelah pemakaman usai, membiarkan kesedihan, kekecewaan, kemarahan menyelimutiku. Sahabatku cukup mengerti bagaimana keadaanku. Meskipun mereka tidak benar-benar mengerti apa yang telah terjadi diantara kami. Mereka mencoba menghiburku, tapi aku menolak dan ingin menyendiri di rumah. Rumah sepi, hanya Billy yang sempat melihatku mengangis masuk kamar. Billy satu-satunya orang di rumah yang mungkin peduli denganku, ia mengetok pintu dan berkata dengan suara lugunya,”kaak..kak Lisda kenapa nangis? Kak..”. aku tak menghiraukannya. Aku menangis hingga lelah, menutupi wajahku dengan bantal, hingga obat dan bermacam-macam vitamin untuk Radin kecil keluar dari persembunyiannya di bawah bantal. Keputus asaanku telah menguasai kerja otakku. Ku tenggak habis seluruh obat dan setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.
Sekarang kusadari betapa lemahnya pikiranku. Aku berjalan menjahui ranjang pada ruangan serba putih itu karena tertarik pada sebuah koran di atas meja. Suatu benda yang meyakinkanku bahawa mungkin ada seseorang yang memperhatikanku dan mungkin juga sekedar menjengukku dalam cukup waktu yang lama. Darah dari tanganku belum juga bisa berhenti hingga tercecer saat aku berjalan. Entah kebetulan atau keajaiban koran tersebut mengulas tentang seorang siswa yang jatuh dari sebuah gedung bank swasta. Sama. Baik waktu dan tempat dimana saat Radin benar-benar meninggalkanku. Aku menyesal begitu membaca kalimat pertama,” 6 siswa SMA pesta miras di atap gedung, menyumbangkan 1 nyawa sebagai hadiah kelulusan”. Air mataku tak dapat di bendung, aku menyesal telah membunuh Radin kecil dengan pikiran bodohku! Radin bukan bunuh diri. Tapi malam itu ia diundang atau lebih tepatnya dipaksa hadir oleh teman-temannya dari kelas XII untuk mengikuti ritual naas itu, karena sebenarnya Radin telah berjanji untuk tidak lagi berteman akrab dengan berandal sekolah tersebut. Mungkin ia dijebak, atau asli kecelakaan. Tubuhku lemas. Tak berdaya. Kudengar suara tangisan bayi dari luar ruangan aku berjalan menuju pintu. Saat kubuka pintu tangisnya perlahan mereda, namun cahaya  yang sangat menyilaukan menerpa mataku. Aku tetap terus berjalan, tubuhku limbung, jatuh, apa? Siapa? Kurasakan tangan hangat itu tak membiarkanku terjatuh. Ia berbisik lembut,” Kenapa kau biarkan Radin kecil menyusulku? Dan kini kamu? “. “Aku mencintaimu..”, ia mengecup keningku dan menuntunku menuju sebuah jalan panjang. Semua putih, Radin berkata,” kita jemput Radin kecil ya? Kamu benar, dia memang Radin kecil. Tampan, seperti aku. Padahal ku fikir dia adalah Lisda kecil yang mungkin tidak terlalu cantik.” Senyumnya mengejekku. Namun aku tak menghiraukannya, aku merindukan Radin kecil kami. Mungkin selanjutnya kami akan menghadap Tuhan untuk meminta maaf atau mungkin menjalankan hukuman kami sebelum mendapatkan Radin kecil kami. Saat itu kami baru sadar bahwa yang kami lakukan bukan cinta, melainkan nafsu belaka. Kebodohan ini telah merenggut masa remaja kami. Mungkin aku dan Radin hanya satu dari ribuan kasus remaja tak bermoral. Sudahlah.. ku doakan Tuhan menyertaimu sobat. Agar kau terlindung dari sekarat moral sepertiku. Kukirimkan pesan ini dari tanah putih, tempat dimana semua terungkap dan abadi.J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar