Aku tak mengerti tentang arti masa
abu-abu putihku selanjutnya. Fikirku kacau, kelam. Aku bahkan tak mengerti
bagaimana dan kenapa aku berada disini. Samar-samar masih kudengar tawa
teman-teman, suara lantang mereka memanggilku kembali bergabung untuk menggoreskan
kenangan manis sewajarnya seorang siswi SMA. Aku menatap ke langit-langit
ruangan ini. Berbagai alat penunjang hidup ini sepertinya yang menyadarkan
dimana keberadaanku sekarang. Mungkin rumah sakit. Namun tak kudapati seorangpun
ada dalam ruangan ini. Tak selayaknya di rumah sakit, dimana keluargaku yang
seharusnya menungguku di samping ranjang hingga aku sadar? Aku semakin bingung
dengan apa yang terjadi. Dimana Billy si usil? Dimana papa? Dimana mama? Aku
merasa sangat rindu kepada keluarga kecilku itu. Kemana sahabat-sahabatku? Dan
tentunya dimana Radin? Aku menyayanginya. Sulit untuk menata kekacauan kepingan
puzzle yang sudah ku bentuk.
Kekacauan itu memudar, perlahan aku ingat apa yang telah terjadi. Aku mengubah
posisiku. Kini aku duduk, melepas segala peralatan penunjang hidupku yang
mungkin sudah berminggu-minggu menempel ditubuhku. Sakit tentunya, sangat
sakit. Namun tidak ada bandingnya dengan sakitku secara psikologis. Darah
menetes dari tanganku, dimana selang infus yang tadinya tertancap di nadiku
untuk mentransfer cairan ke tubuhku baru saja kulepas secara paksa. Aku
mengusap perutku dengan lembut. Peluhku luruh tanpa penghalang. Mataku
memandang penuh penyesalan. Tatapanku kosong, teringat masa abu-abu putihku, berbagai
peristiwa terlintas, tawa canda, cinta..atau lebih tepatnya cuma nafsu belaka
yang membuatku terpaksa terjun ke dunia kelam, hingga aku harus drop out dari sekolah dan menanggalkan
masa remajaku. Masih teringat suatu peristiwa yang menyeretku ke ruangan serba
putih ini. Radin, kekasihku yang tidak bertanggungjawab itu pergi
meninggalkanku, andai dia mengerti seberapa besar rasa cinta yang aku jaga
untuknya. Aku fikir semua akan baik-baik saja. Kami mengerti, ini salah kami. Aku
masih ingat ketika aku berkata kepadanya bahwa ada seorang calon bayi mungil
dalam kandunganku, dia mengatakan bahwa dia akan tetap menyayangiku. Walau
awalnya aku nekat untuk memusnahkan calon bayi kami, namun Radin-lah yang
meyakinkanku. Bahkan ia berjanji akan bertanggung jawab atas accident kami ini. Radin memelukku
ringan dan mencium keningku. Di penghujung senja itu aku memutuskan bahwa aku
juga akan tetap mencintainya dan tentunya Radin kecil yang ada dalam
kandunganku.
Mungkin beberapa minggu setelah itu
aku sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Radin. Usia Radin kecil masih 72
hari, ini masih memungkinkanku untuk membawanya ke sekolah. Sekali dalam waktu
itu aku bertemu dengannya,ia bersikap aneh padaku, masih terukir jelas
difikiranku, matanya merah, menarik lenganku kasar menuju belakang aula. Tempat
tersebut cukup sepi, matanya memandangku tanpa bisa kubaca artinya. Aku menarik
satu tangannya yang lain dan meletakkannya di perutku. Saat itu cengkraman
tangannya yang cukup kuat melemah. Radin memelukku erat tak seperti biasannya
dan mencium Radin kecil kita. lalu ia berkata bahwa Tuhan akan menjemputnya
atau dia yang akan menghampiri Tuhan. Aku menarik tubuhnya mendekat, Radin akan
meneruskan kata-katanya namun aku menahan bibirnya dengan telunjukku. Dia
kembali membenamkanku dalam peluknya dan berbisik tepat di telingaku bahwa jam
pelajaran selanjutnya ia akan meninggalkan kelas, entah pergi kemana. Dia tak
menjawab berbagai pertanyaanku. Setelah saat itu aku tak lagi bertemu dengan
Radin, hingga 3 hari kemudian sekolah digemparkan tentang aksi bunuh diri Radin
yang loncat dari gedung berlantai 17. Tepat di malam aku mencoba menelponnya,
namun tak sekalipun telpon dariku yang diangkat. Aku khawatir.. sore itu Rania
melihat Radin bersama dengan segerombolan kakak kelas kami yang bertaraf anarki
di sekolah memarkirkan mobil mereka tepat di depan tempat yang tidak seharusnya
di kunjungi pelajar SMA. Dan setelah itu ia benar-benar hilang. Hatiku kalut,
tak pernah kubayangkan Radin meninggalkanku. Aku tidak dapat berfikir secara
jernih, bagaimana aku menjelaskan kepada mama, papa, bahkan orang-orang
terdekatku tentang kehadiran Radin kecil dalam kandunganku? Mungkinkah pikiran
Radin sama kalutnya atau bahkan lebih kalut dari pada aku, sehingga ia terpaksa
mengakhiri hidupnya karena tak sanggup menghadapi kenyataan ini? Pengecut !! Aku
segera pulang kerumah setelah pemakaman usai, membiarkan kesedihan, kekecewaan,
kemarahan menyelimutiku. Sahabatku cukup mengerti bagaimana keadaanku. Meskipun
mereka tidak benar-benar mengerti apa yang telah terjadi diantara kami. Mereka mencoba
menghiburku, tapi aku menolak dan ingin menyendiri di rumah. Rumah sepi, hanya
Billy yang sempat melihatku mengangis masuk kamar. Billy satu-satunya orang di
rumah yang mungkin peduli denganku, ia mengetok pintu dan berkata dengan suara
lugunya,”kaak..kak Lisda kenapa nangis? Kak..”. aku tak menghiraukannya. Aku
menangis hingga lelah, menutupi wajahku dengan bantal, hingga obat dan
bermacam-macam vitamin untuk Radin kecil keluar dari persembunyiannya di bawah
bantal. Keputus asaanku telah menguasai kerja otakku. Ku tenggak habis seluruh
obat dan setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.
Sekarang kusadari betapa lemahnya
pikiranku. Aku berjalan menjahui ranjang pada ruangan serba putih itu karena
tertarik pada sebuah koran di atas meja. Suatu benda yang meyakinkanku bahawa
mungkin ada seseorang yang memperhatikanku dan mungkin juga sekedar menjengukku
dalam cukup waktu yang lama. Darah dari tanganku belum juga bisa berhenti
hingga tercecer saat aku berjalan. Entah kebetulan atau keajaiban koran
tersebut mengulas tentang seorang siswa yang jatuh dari sebuah gedung bank
swasta. Sama. Baik waktu dan tempat dimana saat Radin benar-benar
meninggalkanku. Aku menyesal begitu membaca kalimat pertama,” 6 siswa SMA pesta
miras di atap gedung, menyumbangkan 1 nyawa sebagai hadiah kelulusan”. Air
mataku tak dapat di bendung, aku menyesal telah membunuh Radin kecil dengan
pikiran bodohku! Radin bukan bunuh diri. Tapi malam itu ia diundang atau lebih
tepatnya dipaksa hadir oleh teman-temannya dari kelas XII untuk mengikuti
ritual naas itu, karena sebenarnya Radin telah berjanji untuk tidak lagi
berteman akrab dengan berandal sekolah tersebut. Mungkin ia dijebak, atau asli
kecelakaan. Tubuhku lemas. Tak berdaya. Kudengar suara tangisan bayi dari luar
ruangan aku berjalan menuju pintu. Saat kubuka pintu tangisnya perlahan mereda,
namun cahaya yang sangat menyilaukan
menerpa mataku. Aku tetap terus berjalan, tubuhku limbung, jatuh, apa? Siapa?
Kurasakan tangan hangat itu tak membiarkanku terjatuh. Ia berbisik lembut,”
Kenapa kau biarkan Radin kecil menyusulku? Dan kini kamu? “. “Aku
mencintaimu..”, ia mengecup keningku dan menuntunku menuju sebuah jalan
panjang. Semua putih, Radin berkata,” kita jemput Radin kecil ya? Kamu benar,
dia memang Radin kecil. Tampan, seperti aku. Padahal ku fikir dia adalah Lisda
kecil yang mungkin tidak terlalu cantik.” Senyumnya mengejekku. Namun aku tak menghiraukannya,
aku merindukan Radin kecil kami. Mungkin selanjutnya kami akan menghadap Tuhan
untuk meminta maaf atau mungkin menjalankan hukuman kami sebelum mendapatkan
Radin kecil kami. Saat itu kami baru sadar bahwa yang kami lakukan bukan cinta,
melainkan nafsu belaka. Kebodohan ini telah merenggut masa remaja kami. Mungkin
aku dan Radin hanya satu dari ribuan kasus remaja tak bermoral. Sudahlah.. ku
doakan Tuhan menyertaimu sobat. Agar kau terlindung dari sekarat moral
sepertiku. Kukirimkan pesan ini dari tanah putih, tempat dimana semua terungkap
dan abadi.J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar