most popular

Kamis, 17 November 2011

Black Paris

Sepasang kekasih baru memasuki pintu. Seorang gadis melambaikan tangan padaku dan menuju ke arah ku yang berada di ujung kedai kopi ini. Aku tersenyum. Jadi lelaki ini yang selalu diceritakan Key. Sesuai janjinya, Key akan mengenalkan kekasih barunya padaku akhir pekan ini. Baiklah, harus ku akui lelaki yang digandengnya kali ini benar – benar tampan. Tak heran juga, sepupuku yang satu ini memamng memiliki wajah cantik. Namun ada yang janggal pada lelaki itu. Key duduk dan menyapaku, kemudian ia memperkenalkan lelaki itu. Evan. Namanya yang singkat mampu mem-pause hidupkku selama 5 detik. Mereka duduk di depanku. Memesan kopi dan asik berbincang sendiri setelah menyadari aku sedang menggarap mati – matian tugas akhir semesterku.
Ku tatap lagi pemilik tubuh yang indah itu, tangannya melingkar manis di pinggang sepupuku. Otakku beradu dengan hatiku mencerna apa yang terjadi, logikaku tak mampu menerima kenyataan. Aku tak tahu bagaimana sepasang mata hitam yang dulu milikku sejak tadi asik menatap wajah rupawan sepupuku. Dan kenapa pula ia disini? Aku pura – pura tak memperhatikan keduanya yang sedang dibakut kasih.
Masih jelas bayangan antara aku dan lelaki itu, dua tahun yang kacau memaksaku menyingkirkannya dari hidupku. Mungkin saati itu Evan telah lelah dengan sikapku yang kacau dan kerap mengabaikannya. Sebuah efek samping yang diakibatkan oleh sepasang suami – istri yang tidak bertanggungjawab, berhasil mengacaukan kehidupanku dan bahkan membunuh calon adikku yang masih dalam kandungan ibu. Aku sendiri terselamatkan karena kepedulian saudara – saudaraku. Hingga kini mereka mengirimku belajar ke negara bermenara yang merupakan kiblat mode dunia. Keluarga Om Hervan sangat baik, aku dikirim bersama anak bungsunya. Mereka berharap aku dapat menjadi anak yang baik dan tentunya tidak akan mengulangi kesalahan orang tuaku.
Di depanku, sepupuku dan mungkin mantan kekasihku masih menikmati keadaan, oh baiklah.. kami sebenarnya tidak pernah benar – benar mengatakan berpisah. Hanya waktu dan keadaan yang membuatku seperti menghilang dan tiba – tiba  aku ada di tempat ini tanpa membiarkannya untuk melupakanku. Aku kembali memastikan penglihatanku. Hatiku berharap ia bukan Evan yang pernah aku tinggalkan. Tapi kenyataan mengalahkan segala usaha mengelabuhi pikiranku. Sebenci itukah dia hingga tak mengenaliku lagi? Atau dia berpura –pura lupa lupa dan sengaja mencari sepupuku untuk membalas sakit hatinya? Atau ini permainan –Mu  Tuhan? Aku benci ini !
Aku tetap berpura – pura mengerjakan tugasku dan sesekali mencuri pandangan ke arah mereka dari balik gadget canggihku yang biasa disebut laptop oleh orang negaraku. Andai dia tahu, tak seperti yang ku inginkan untuk meninggalkanmu. Saat itu aku hanya masih sebagai seorang remaja yang labil. Keegoisan orang tua ku membuat kejiwaanku terguncang. Dan wajarnya seorang lelaki  normal tidak akan pernah mencintai wanita yang tidak begitu waras sepertiku. Belum lagi berbagai luka memar yang merupakan make up alami wajahku. Pelipisku kerap mengucurkan darah segar ketika emosi ayahku memuncak. Betapa rendahnya aku saat itu. Aku ingin pergi dari hadapan mereka berdua dan menumpahkan air mataku. Aku mengurungkan niat ku untuk pamit pulang ketika Key yang meminta izin dulu ke toilet. Aku mulai membereskan barangku. Kemudian..
“kamu sepupu Key dari Indo juga kan? Aku juga dari Indo. Lagi banyak tugas ya?” Evan tersenyum dan menatapku.
Aku melepas kacamata dan memasukkannya kemudian memjawab. Pura – pura bodoh tak mengenalnya.
“ya..ibu ku adalah kakak papa Key.” Aku tersenyum, kuberanikan diri menatapnya
“ini tugas penelitian sosial aja kok J” tambahku.  Sepertinya sejak kedatangannya belum menatapku sungguh – sungguh. Kini tatapan matanya berubah aneh terhadapku.
“sudah berapa lama tinggal di- “ ucapanku terputus
“Raisa?” sepertinya Evan mulai mengenaliku. Wajahanya benar – benar terlihat speechless  saat menyadari itu aku. Aku meraih tasku dan berlari ke luar. Aku enggan menampakkan air mataku di hadapnya. Di mencoba mengejarku. Hanya beberapa meter dari tempat tadi Evan mampu mengimbangi langkahku. Dia menarik lenganku dan membenamkanku dalam peluknya. Lama. Aku tak mampu membalas pelukannya. Pikiranku bercampur. Mungkin bahagia dan khawatir tentunya. Apa yang akan terjadi pada Key bila ia melihat sepupunya ini berani memeluk kekasihnya? Aku benar – benar takut. Evan tak juga melepas pelukannya. Kurasakan rindu darinya yang amat mendalam masuk dan merambati auraku.
“aku mencarimu selama ini. Aku menyusulmu, tapi tak juga menemukanmu. Tapi aku bertemu Key..” kalimatnya yang terkahir diucapkan dengan penuh penyesalan. Aku tetap membisu, mataku basah. Aku mencoba melepaskan diri dari pelukkannya. Tapi tubuhnya menolak untu melepaskanku. Tapi akhirnya pelukannya melemah setelah melihat mataku basah.
“aku tetap mencintaimu…”Evan menatapku lembut, matanya teduh, wajahnya mendekat hingga bibirnya bertemu dengan milikku. Aku membalasnya, bibirnya yang lembut menari sempurna di atas bibirku. Kami saling beradu. Aku juga mencintaimu, batinku. Aku sangat merindunya. Saati itu terdengar musik khas yang lembut dari gesekan biola milik pengamen jalanan. Aku merasakan atmosfer yang berbeda saat ini. Dia menyudahi beradunya bibir kami.
“bagaimana tentang Key?” aku bertanya lirih dan tak berani menatap matanya. Dia mengusap air mata yang masih tersisa di pipiku.
“kau tentu menyayanginya. Tak semstinya aku berbuat kurang ajar seperti ini dan melukai hati saudaraku sendiri. Sudahlah.. lupakan segala tentangku..” aku menjauh dari jangkauannya. Namun tatapan matanya memohon mencoba untuk mencegah kepergianku. Genggaman tangannya dipererat untuk menahanku.
“RAISA !” sebuah suara lanatng meneriakkan namaku dengan kasar. Tanpa menoleh ke sumber suara tentunya aku sudah tau pemilik suara itu. Sepertinya sepupuku telah berdiri lama manyaksikan kelakuanku. Aku menatap Key penuh rasa bersalah. Aku kembali menatap Evan. Aku berlari meninggalkan mereka berdua yang tetap terdiam. Baik Key maupun Evan hanya diam mematung dan membirakan aku pergi begitu saja. Perasaanku bercampur dan tak dapat terdevinisikan. Aku berlalri sekuat yang ku mampu. Aku takut. Aku menangis sepanjang jalan. Hingga aku lelah. Lelah. Lelah.. benar  benar lelah. Dan lelah.
Sejak saat itu aku tak lagi berani menemui Key lagi. Aku benar – benar menghilang dari kehidupannya. Key, terlalu baik padaku. Aku berjanji suatu saat akan membalas kebaikan keluarga Om Hervan. Maafkan aku Key.. aku meninggalkan segalanya. Sangat berat tersesat di negri orang. Saat itu benar – benar kelam. Aku benci menjadi bodoh dan selalu sial seperti ini.
Aku bersandar di bahu suamiku. Kami duduk sebuah bangku pada taman kecil di sudut kota Paris. Ia mengusap lembut perutku.
            “aku tak sabar menanti ia lahir. Aku tentu akan mengajarinya bermain bola. “ aku tersenyum mendengar ucapannya. Evan masih seperti yang dulu bahunya tetap nyaman untukku  disana. Tetap tulus menyayangiku meski kita berada dalam masa – masa yang sulit seperti ini. Aku mencium pipinya, menikmati indahnya sore di langit Paris hingga awan –awan jingga benar – benar berganti kelam. Hitam. Dan aku tetap disini Black Paris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar